Gula merah di Okinawa dimulai pada tahun 1623 ketika Gima Shinjo mempelajari teknik pembuatan gula dari Cina dan membawanya kembali ke Jepang, dan sejak saat itu telah menjadi industri inti yang penting bagi Kerajaan Ryukyu, yang berakar kuat dalam budaya, ekonomi, dan pola makan.
Ada suatu masa ketika gula merah menjadi alat politik dan keuangan melalui sistem monopoli klan Edo dan Satsuma dan 'gula upeti' dalam bentuk pajak dan pengiriman upeti tahunan, yang memiliki dampak signifikan pada produsen dan masyarakat lokal dalam prosesnya.
Di zaman modern ini, produksi gula merah dievaluasi kembali sebagai 'tradisi, rasa, dan merek lokal', terutama di pulau-pulau terpencil di Okinawa, dan nilainya sebagai sebuah budaya sedang ditingkatkan, meskipun terjadi penurunan jumlah produksi dan area produksi.
Ini adalah jenis artikel yang harus dibaca oleh semua orang:
Bagi Anda yang tertarik dengan budaya Okinawa dan Ryukyuan serta gula merah sebagai industri tradisional.
Mereka yang ingin memahami gula merah lebih dari sekadar pemanis, tetapi juga sebagai 'nilai historis dan budaya'.
Mereka yang ingin belajar tentang sejarah gula merah dari sudut pandang makanan, industri, dan masyarakat, serta memikirkan bagaimana gula merah harus dilindungi dan dikembangkan di masa depan.
Sejarah dan poin-poin penting
Gula merah menjadi milik monopoli Kerajaan Ryukyu → Menjadi penting secara ekonomi dan politik
Kepulauan Amami, keterlibatan Satsuma, sistem gula upeti dan munculnya situasi yang dikenal sebagai neraka gula merah.
Kebijakan pertanian, pembatasan penanaman, upaya untuk meningkatkan produksi dan perubahan kebijakan sejak masa modernisasi dan penjajahan.
Kontraksi produksi pascaperang dan kontemporer, pengurangan jumlah pabrik, isu-isu branding dan keberlanjutan di pulau-pulau terpencil.
Asal usul gula merah dan pengenalannya pada dinasti Ryukyu (abad ke-17)
Dikatakan bahwa gula merah pertama kali diproduksi di Ryukyu pada tahun 1623 (Genna 9). Seorang pejuang Ryukyu bernama Masatsune Gima mengirim utusan ke Fuzhou, Tiongkok, di mana ia mempelajari teknik pembuatan gula dan membawanya ke Ryukyu.
Dengan diperkenalkannya tebu, budidaya tebu berkembang pesat dan gula merah menjadi tanaman pertanian utama di pulau ini. Iklim Ryukyu yang unik (subtropis dan cocok untuk budidaya tebu) mendorong penyebarannya.
Sistem monopoli gula merah dan pengaruh gula upeti dan klan Satsuma.
Pada zaman Edo, Okinawa (Kerajaan Ryukyu) berada di bawah kendali klan Satsuma, dan gula merah menjadi objek pembayaran upeti tahunan yang besar dan upeti (gula upeti) kepada klan Satsuma. Terutama pada paruh pertama abad ke-18, gula merah kadang-kadang digunakan sebagai bahan pembayaran pajak sebagai pengganti beras, yang merupakan beban berat bagi para petani.
Sistem serupa juga diberlakukan di Kepulauan Amami, di mana catatan menunjukkan bahwa beban tenaga kerja dan pajak untuk produksi gula merah sangat berat sehingga dikenal sebagai 'neraka gula merah'. Para petani harus menanam dan memproduksi gula merah sambil mengamankan makanan mereka sendiri, yang berdampak serius pada mata pencaharian mereka.
Perubahan dan modernisasi sejak era Meiji
Setelah berdirinya Pemerintahan Meiji, Kepulauan Ryukyu menjadi Prefektur Okinawa dan dimasukkan ke dalam sistem administrasi dan perpajakan Jepang, yang juga mengubah perlakuan terhadap industri gula merah. Ada dukungan kebijakan dan pembatasan, seperti pembatasan penanaman dan modernisasi peningkatan dan peralatan industri gula.
Selain itu, sejak pertengahan abad ke-20, ketika mekanisasi bahan dan teknologi produksi serta pengenalan pabrik-pabrik besar telah berkembang, produksi gula merah di pabrik-pabrik kecil tradisional dan pulau-pulau terpencil secara bertahap menurun. Terutama sejak tahun 1970-an, jumlah pabrik yang memproduksi gula merah telah menurun secara signifikan.
Pasca perang hingga saat ini: branding dan revaluasi budaya.
Meskipun seluruh industri gula dan gula rafinasi berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi Jepang pascaperang, gula merah telah membentuk ceruk pasar karena rasa dan tradisinya. Di Okinawa, delapan pulau terpencil (Iheya, Ie, Aguni, Tarama, Kohama, Iriomote, Hateruma, dan Yonaguni) tetap menjadi area produksi gula merah, dan perbedaan tanah, iklim, dan metode produksi di setiap pulau tercermin dalam rasanya, meningkatkan nilainya sebagai 'merek pulau' dan 'makanan tradisional'.
Saat ini, meskipun sekitar setengah dari lahan subur di Okinawa digunakan untuk budidaya tebu, hanya sebagian kecil saja (sekitar 5-61 tp3t) yang digunakan untuk produksi gula merah, sehingga gula merah menjadi pemanis yang langka.
Sebagai nama tradisional, gula merah kadang-kadang disebut sebagai 'nuchigusui' (obat kehidupan), dan reputasinya sebagai makanan kesehatan dan obat juga ditemukan dalam dokumen sejarah.